Bantul – Ribuan wisatawan dari berbagai penjuru Nusantara tumpah ruah di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (26/7/2025). Mereka datang bukan sekadar menikmati pesona pantai selatan, melainkan menyaksikan perhelatan akbar Jogja International Kite Festival (JIKF) 2025, yang digelar selama dua hari penuh hingga Minggu (27/7/2025).
Dari pantauan JogjaBerkabar.com, arus kendaraan mulai padat sejak pagi hari. Antrean panjang kendaraan roda empat dan bus wisata tampak mengular dari gerbang Tempat Pemungutan Retribusi (TPR) Induk Parangtritis hingga lokasi utama di Pantai Parangkusumo. Puluhan ribu pasang mata seolah tersihir oleh hamparan warna-warni ratusan layang-layang yang menari bebas di langit pesisir.
Suasana menjadi kian semarak. Pantai yang selama ini dikenal sebagai lokasi ritual Labuhan dan spiritualitas Jawa itu, hari ini menjelma menjadi panggung perayaan budaya dan imajinasi global. Wisatawan dari segala usia tampak antusias mengabadikan momen, tak sedikit yang berswafoto dengan latar langit cerah dipenuhi karya layang-layang unik dari berbagai negara.
Menurut Ketua Panitia JIKF 2025, Anang, gelaran tahun ini menjadi momentum istimewa karena bertepatan dengan satu dekade penyelenggaraan JIKF. Sebuah usia matang untuk sebuah festival yang perlahan namun pasti telah menjelma menjadi ikon diplomasi budaya DIY.
“Di usia ke-10 ini, kami tidak hanya berinovasi dalam sistem keamanan dan kenyamanan pengunjung, tapi juga memperkaya ragam atraksi yang ditampilkan. Kami ingin JIKF menjadi festival yang tak hanya menarik, tapi juga memberi pengalaman lintas budaya,” ujar Anang.
Pada perhelatan kali ini, JIKF 2025 diikuti oleh pelayang internasional dari enam negara, yakni Amerika Serikat, Slovenia, Slovakia, Jerman, Korea Selatan, dan Malaysia. Masing-masing membawa layangan-layangan ikonik dan artistik, dengan jumlah total hampir 35 layang-layang mancanegara.
Sementara itu, dari dalam negeri, sebanyak 200 pelayang dari 35 klub turut ambil bagian. Mereka berasal dari berbagai daerah, termasuk Lampung, Cilacap, Kebumen, Solo, Magelang, Muntilan, dan Kotabaru (Kalimantan Selatan). Para peserta bersaing dalam sejumlah kategori, seperti layangan tradisional, 2 dimensi, 3 dimensi, hingga train naga, yang dikenal rumit dan spektakuler secara visual.
Bagi Kepala Dinas Pariwisata DIY, Imam Pratanadi, keberlangsungan JIKF selama satu dekade adalah bukti keberhasilan sinergi antara pemerintah daerah, komunitas, dan publik.
“Ini adalah wujud nyata bagaimana sebuah event budaya mampu menjadi magnet wisata yang signifikan. JIKF adalah wajah baru pariwisata kreatif, yang menggabungkan edukasi, seni, dan diplomasi budaya dalam satu bingkai,” ungkap Imam.
Ia menambahkan, meski situasi ekonomi global belum sepenuhnya pulih, kehadiran pelayang mancanegara tetap bisa terwujud berkat kolaborasi yang solid serta dukungan Dana Keistimewaan.
“Tentu kami berharap tahun depan jumlah peserta internasional bisa kembali meningkat. Kita pernah mencapai 11 negara, dan ke depan akan kami upayakan lebih dari itu. Insyaallah, JIKF akan terus tumbuh sebagai festival yang mendunia, namun tetap berakar pada nilai lokal,” tegasnya.
JIKF 2025 bukan sekadar parade layang-layang. Ia adalah simbol pertemuan budaya, tempat di mana kreativitas melintasi batas negara, dan angin laut menjadi medium dialog global. Dari langit Parangkusumo, Yogyakarta kembali menunjukkan kepada dunia bahwa budaya bukan sekadar warisan, melainkan kekuatan hidup yang terus bergerak, menghubungkan, dan menginspirasi.(Hari)